Kembali saya akan menceritakan pengalaman yang saya alami ketika saya dan istri saya berhaji di tahun 2010. Saya ingin menceritakan pengalaman tentang kebencian saya terhadap Negara Malaysia. Sebelum berangkat ke tanah suci, saya teramat amat-sangat membenci segala sesuatu yang berbau Malaysia, apapun itu-pokoknya yang berbau Malaysia-saya benci. Pernah suatu ketika di tahun 90-an ketika itu saya nonton pertandingan bulutangkis "Thomas Cup" yang di tayangkan televisi di tempat kost saya di jalan Lodaya Ujung di Bogor.
Ketika itu yang nonton "Thomas Cup" di tempat kost kami amatlah banyak, tidak hanya teman-teman satu kost bahkan ada juga teman-teman dari tempat kost lain yang sedang berkunjung main ketempat kost kami. Jadi kami pun nonton bersama dengan sangat antusiasnya. Saking antusiasnya saya sendiri memberi komentar dukungan moril kepada pemain-pemain nasional kita, "Ayo hajar..!!!, ganyang Malaysia-ganyang Malaysia...!!! kata-kata itu sepanjang pertandingan berulang-ulang keluar dari mulut saya. Kemudian ada salah seorang teman satu kost saya menghampiri duduk di sebelah saya dan berkata setengah berbisik, "Eh teman, maaf...teman saya yang duduk di belakang itu orang Malaysia", saya pun terhenyak kaget-dan seketika saya mendekati orang tersebut yang belakangan saya ketahui namanya Madjid, "Aduh, maafkan saya ya, saya sangat terhanyut, saya terlalu semangat, sekali lagi maafkan saya...". Madjid pun menjawab singkat, "Oh, tak ape lah...", sambil tersenyum. Malu sekali rasanya saya ketika itu, dan bahkan wajah Madjid sampai sekarangpun saya masih ingat, mungkin Madjid sendiri sudah kembali ke Malaysia setelah menamatkan studinya di Institut Pertanian Bogor.
Kejadian di atas tidak menyurutkan begitu saja kebencian saya kepada Malaysia, apalagi dengan kejadian sengketa Sipadan-Ligitan-Ambalat, kebencian saya pun makin menjadi-jadi. Saya bahkan tidak habis pikir, kenapa Presiden kita tidak menyatakan perang saja? Menang atau kalah urusan nanti-ini masalah harga diri bangsa. Kebencian saya semakin bertambah, hingga akhirnya luluh ketika saya melakukan ibadah haji ke tanah suci di tahun 2010.
Selama saya di sana, baik di Mekah maupun di Madinah, saya selalu mengerling tidak suka ketika menjumpai rombongan dari Malaysia, sambil mengernyitkan dahi saya bergumam, "Hm..Malaysia..." dengan hati penuh ketidaksukaan. Saya pun selalu menghindar, tidak mau duduk di sebelah orang Malaysia-bahkan ketika di dalam masjid. Ketika berhaji, kita bisa mengetahui asal masing-masing jamaah haji apakah dari Mesir-Nigeria-Thailand-dll, dimana kita dapat mengenali dari ciri-ciri atau atribut yang mereka kenakan. Waktu itu Jamaah Malaysia menggunakan ID dengan gantungan pita kecil warna merah dengan logo kecil bergambar bendera Malaysia. Namun di tengah kebencian saya kepada Malaysia, rupanya Allah SWT berkehendak lain dan mungkin Allah sangat menyayangi saya, hingga akhirnya mengingatkan dan membuka mata hati saya hingga meluluhlantakkan semua kebencian-kebencian saya.
Kejadiannya adalah waktu itu seusai kami melaksanakan sholat di Masjidi Haram, saya bersama istri berjalan keluar dari masjid, dan seperti biasanya kami harus berjuang berdesak-desakan agar dapat keluar masjid sambil melindungi istri yang berjalan mengikuti saya sambil memegang bahu saya dari belakang. Beberapa meter dari gerbang masjid tiba-tiba ada dorongan yang sangat kuat dari kiri-kanan dan belakang kami, dan tiba-tiba saya mendengar tangisan seorang kakek di depan saya. Seketika saya pun memeluk kakek tadi dari belakang-yang gemetaran dan menangis ketakutan. Betapa tidak, perawakan kakek tadi sangat kecil dan ringkih, amat-sangat ketakutan terhimpit oleh gelombang manusia yang demikian hebatnya. Saya pun berusaha menahan dorongan dari kiri-kanan-depan kakek tadi dan menahan bahu orang yang di depan kami-sambil berusaha melindungi. Dan tanpa sengaja saya melirik ke arah gantungan di leher kakek yang sedang saya lindungi di depan saya, "Subhanallah....Malaysia...!", hati saya terhenyak. Entah bagaimana membayangkan kecamuk dalam pikiran saya, saya pun terus berusaha keluar dari masjid sambil berusaha tetap melindungi kakek tadi.
Sesampai di pelataran masjid, saya pun berusaha membawa kakek tadi ke tempat yang relatif lengang, sambil berusaha menenangkan kakek tadi yang masih gemetaran saya pun berkata, "Atok, tenanglah....Atok sudah aman sekarang..." dengan logat Upin-Ipin yang walaupun belum ada di tv waktu itu, saya mengetahui panggilan kakek di Malaysia adalah "Atok", sama persis dengan panggilan kakek di tempat istri saya yang berasal dari Pulau Bangka. Kemudian saya berusaha menjelaskan kepada kakek tadi kalau saya akan mencari orang Malaysia agar membawa kakek tadi kembali kedalam rombongannya. Saya pun setengah berlari kesana-kemari mencari jamaah dengan atribut Malaysia. Akhirnya saya menemukan dua orang Malaysia yang sedang berjalan dan menjelaskan kejadian yang baru saya alami dengan Bahasa Indonesia yang saya Melayu-melayukan, lalu saya membawa mereka kepada kakek tadi yang masih ditunggui oleh istri saya.
Sepeninggal ketiga orang tadi, saya pun mengajak istri saya untuk duduk di pelataran masjid yang agak sepi dari lalu-lalang jamaah haji lainnya. Sambil menatap Masjidil Haram, saya pun tertunduk malu, "Ya Allah....ampunkan hambaMu ini ya Allah...".
Kebencian, apapun bentuknya-dan kepada siapapun, adalah akhlak yang tidak terpuji. Saya sendiri heran, kenapa saya sampai sedemikian benci kepada Malaysia, kepada Negaranya-kah? Bangsa-nya? atau Masyarakat-nya? Ternyata di Malaysia pun ada orang-orang lemah, dan di Malaysia pun banyak saudara-saudara kita se-aqidah. Bangsa Malaysia adalah bangsa yang serumpun dengan bangsa kita, negara yang juga mayoritas penduduknya muslim.
Benci adalah salah satu penyakit hati yang harus kita perangi. Bukankah Rasulullah SAW tidak pernah membenci siapapun? Bahkan kepada orang Yahudi yang buta matanya dan yang selalu mencaci maki Rasul setiap hari. Rasulullah malah setiap hari menyuapinya dengan makanan yang beliau haluskan dulu dengan tangannya dan menyuapinya dengan penuh kasih sayang?
Di pelataran Masjidil Haram, saya terdiam, "Ya Allah hamba mohon ampun Ya Allah, hilangkanlah penyakit benci dari dalam hati hamba ini Ya Allah, dan kalau memang harus membenci hal-hal yang tidak Engkau sukai-biarlah hamba membenci hanya semata-mata karena Engkau Ya Allah..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar