Ketika saya masih kecil, sholat adalah satu hal yang paling diharuskan oleh orang tua saya. Kala itu dengan ketidakmengertian dan keterpaksaan saya melakukan sholat yang diperintahkan orang tua, tidak jarang saya kena marah bahkan kena pukul karena malas untuk melakukannya. Sholat berjamaah, terutama sholat maghrib, isya dan shubuh di masjid kampung saya "Al-Jumhur", saya lakukan meski terkadang dengan sangat terpaksa. Satu hal yang membuat saya agak terhibur adalah bahwa di masjid saya bisa bertemu dengan teman-teman tetangga, bisa main kejar-kejaran, main sabet-sabetan pake sarung, atau bercanda ciprat-cipratan air di tempat wudhu.
Seiring dengan berjalannya waktu saya melewati masa SMP dan mulai memasuki masa SMA, di masa ini saya mulai merasakan bahwa sholat sudah mulai menjadi kebutuhan, saya mulai melakukan sholat atas keinginan sendiri dan melakukannya dengan penuh kesadaran. Saya mulai secara diam-diam melakukan juga sholat-sholat sunnah, tidak ketinggalan berdiri di tengah malam mengadukan kegundahan hati saya tentang masa depan saya. Saya semakin merindu untuk berjumpa dengan Allah SWT, kerinduan saya pun akhirnya berbalas bahkan Allah SWT menghadiahi saya : masuk IPB tanpa test !
Seiring dengan berjalannya waktu saya melewati masa SMP dan mulai memasuki masa SMA, di masa ini saya mulai merasakan bahwa sholat sudah mulai menjadi kebutuhan, saya mulai melakukan sholat atas keinginan sendiri dan melakukannya dengan penuh kesadaran. Saya mulai secara diam-diam melakukan juga sholat-sholat sunnah, tidak ketinggalan berdiri di tengah malam mengadukan kegundahan hati saya tentang masa depan saya. Saya semakin merindu untuk berjumpa dengan Allah SWT, kerinduan saya pun akhirnya berbalas bahkan Allah SWT menghadiahi saya : masuk IPB tanpa test !
Kemudian saya dengan berat hati meninggalkan masjid kesayangan saya di kampung Sunyaragi-Kota Cirebon untuk merantau ke Kota Bogor. Itulah metamorfosa kehidupan yang saya alami dari ketidakmengertian usia belia hingga kekinian-masa dewasa dan berkeluarga dimana saya akhirnya banyak menghabiskan waktu dari masa kuliah hingga kini di Kota Bogor.
Kerinduan saya kepada Alloh SWT pun mengalami pasang surut, dipermainkan oleh waktu dan keadaan. Adakala pasang-ada kalanya surut, kerinduan saya kembali membahana ketika saya sampai di telaga kehidupan, "Telaga Kahuripan", nama perumahan dimana tempat saya tinggal di pinggiran Kota Bogor menuju ke arah Parung. Saya menimba ilmu dan menganyam kembali rindu di Musholla "Al-Ikhlas" bersama ustadz-ustadz dan guru-guru kehidupan saya.
Ada kunci rindu yang saya dapatkan disini, ketika saya mendekatkan rindu saya sejengkal-maka Allah SWT akan mendekatkan rinduNya sehasta, ketika saya berjalan kepadaNya dengan penuh kerinduan-maka Allah SWT akan berlari menghampiri saya dengan selangit kerinduan-Nya.
Ada kunci rindu yang saya dapatkan disini, ketika saya mendekatkan rindu saya sejengkal-maka Allah SWT akan mendekatkan rinduNya sehasta, ketika saya berjalan kepadaNya dengan penuh kerinduan-maka Allah SWT akan berlari menghampiri saya dengan selangit kerinduan-Nya.
Selamat "Mendekap Rindu".
Pak Yanto, saya ikut hanyut membayangkan perjalanan hidup saya, dan "trenyuh" ketika membaca bahwa "berjalan dan sejengkal kita mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka berbalas berlari dan sehasta Allah SWT mendekat kepada kita. Mohon saya pun diingatkan ketika diam, berbelok atau bahkan berbalik terhadap hal tersebut. Syukron.
BalasHapusYa Pak Rio, sifat Ar-Rahman dan Ar-RahiimNya yang akan selalu melebihi kerinduan kita padaNya, O ya Pak Rio, dari diskusi off-line kita metaforfosa perjalanan hidup Pak Rio sangat teramat dahsyat, kapan-kapan boleh donk sharing cerita di blog saya ini...
BalasHapuskisah yang bisa menjadi inspirasi untuk orang lain. semoga sukses terus ya, pak. salam
BalasHapusYa Nikoem....selamat mendekap rinduNya ya...
Hapus